Senin, 30 Juli 2007

Satu Keluarga, Dua Rumah Tangga

Satu Keluarga, Dua Rumah Tangga

Lusiana Indriasari dan Susi Ivvaty

Suami harus hidup terpisah dari istri dan anak? Sebuah pilihan yang sulit. Kenyataannya, pekerjaan dapat saja menuntut sebuah keluarga tak selamanya bersatu di bawah satu atap.

Bagi orang yang tugasnya sering berpindah-pindah, memboyong keluarga bisa membawa konsekuensi besar dalam rumah tangga. Salah satunya adalah kehilangan sebagian pendapatan jika pasangan ternyata juga bekerja. Di lain pihak, pengeluaran semakin membengkak apabila keluarga itu pindah ke suatu tempat yang berbiaya hidup tinggi.

Anak-anak yang ikut pindah juga harus pandai beradaptasi dengan lingkungan baru. Jika orangtua terlalu sering pindah, anak malah bisa tertekan karena mereka tidak sempat menjalin hubungan sosial dengan lingkungannya.

"Mencari pekerjaan baru sekarang sangat sulit. Makanya, saya dan istri memutuskan hidup terpisah," cetus Guido S Radityo (32), pekerja swasta di perusahaan penerbitan di Jakarta. Guido dan istrinya, Khristianna (31), akrab disapa Anna, sudah lima tahun menjalani hidup terpisah. Guido tinggal di Jakarta, sedangkan Anna menetap di Yogyakarta bersama Jalu (4), buah hati mereka.

Sejak menikah, pasangan ini belum pernah merasakan hidup bersama di bawah satu atap. Anna tidak mungkin ikut pindah ke Jakarta karena ia bekerja di Yogyakarta. Bahkan, ketika Anna melahirkan, Guido tidak bisa menunggui.

Pasangan Purnomo (35) dan Yuli Muniawati (33) juga merasakan beratnya hidup terpisah. Purnomo, pegawai negeri di lingkungan Departemen Keuangan, saat ini bekerja di Sorong, Papua, sedangkan Yuli adalah karyawan Indosat di Jakarta. Saat ini Yuli tengah mengandung anak ketiganya, sementara dua anak sebelumnya, Hirzy (4) dan Thoriq (1 tahun 5 bulan), masih membutuhkan perhatian penuh dari orangtuanya.

"Sebenarnya saya bisa minta pindah ke Sorong, tetapi ada kemungkinan suami dipindah lagi. Jadi, kalau saya menyusul, saya bisa sulit jika mau minta pindah lagi," kata Yuli yang tengah hamil tujuh bulan dan kadang menangis jika Hirzy dan Thoriq menanyakan bapaknya.

Apa yang dirasakan Yuli berbeda dengan yang dirasakan Zainuraida (54), warga Pondok Gede, Jakarta Timur. Mantan awak penerbangan pesawat Garuda ini terbiasa menjalani kehidupan berpindah-pindah. Ketika bertugas dulu, ibu tiga putra ini tidak pernah menetap di satu kota di Indonesia untuk waktu lama.

Oleh karena itu, ketika akhirnya menikahi Kirono (59) yang berprofesi sebagai pilot, Ida merasa biasa saja. "Sejak menikah, sebagian besar hidup saya terpisah dari suami," tutur Ida, panggilan Zainuraida, yang kini menjadi pembina sofbol.

Hingga kini, Ida dan Kirono masih saja hidup terpisah. Setelah pensiun dari Garuda, lima tahun terakhir Kirono bekerja di Orient Thai, perusahaan penerbangan Thailand. Kirono baru bisa menjenguk keluarganya paling cepat sebulan sekali.

Tidur di kantor

Pasangan suami istri yang hidup terpisah mau tidak mau harus membiayai dua "dapur". Bagi orang yang tidak pandai menyiasati keadaan, membiayai dua rumah tangga tentu bisa memberatkan keuangan. Mereka harus menyediakan uang untuk kos, transportasi, dan makan.

Guido dan istri mampu menyiasatinya. Untuk berhemat, selama lima tahun itu pula Guido rela tidur di kantor. Cukup Rp 750.000 untuk keperluan hidupnya sebulan. Ia pun bisa menabung Rp 1 juta setiap bulannya, sedangkan sisa gajinya dikirim ke istri.

Tidur di kantor tentu tak sebebas tidur di kamar kos. Guido baru bisa tidur jika semua temannya sudah pulang. Pagi-pagi ia juga harus bangun dan merapikan diri sebelum teman-temannya datang. Ia hanya membawa kasur tipis dan lemari kecil untuk menyimpan baju. Barang-barang itu diletakkan di satu ruangan kantor yang tidak terpakai.

"Wah untungnya saya belum pernah bangun kesiangan. Kan malu kalau bangun tahu-tahu orang sudah berdatangan," tutur Guido.

Purnomo beruntung bisa menempati rumah dinas meski sederhana. Namun, jauhnya jarak Sorong dan Jakarta membuatnya sulit untuk pulang. Biaya pesawat yang mahal menjadi kendala utama meski sebenarnya ia diperbolehkan pulang setiap dua bulan. "Karena lama tak pulang, Thoriq pangling, lupa sama bapaknya," ujar Yuli.

Kesepian, mandiri

Bagi istri yang ditinggal di rumah bersama anak-anak, jauh dari suami justru bisa melatih kemandirian. Setidaknya itulah yang dirasakan Nia Tresnasari (32), warga Bojong, Depok Baru, Bogor. Sejak suaminya, Nenda, pindah ke Makassar enam bulan lalu, Nia belajar mengatasi persoalan rumah tangga sendirian.

Ketika dua anaknya, Bintang (4) dan Bulan (2,5), sakit, Nia bisa menyikapinya dengan lebih tenang. Padahal, biasanya ia sering panik dan bergantung kepada suami untuk mengantar ke dokter. Begitu juga jika ada bagian rumah yang rusak. Nia langsung mencari tukang. "Pokoknya dari urusan anak sakit sampai genteng bocor saya tangani semua," tutur Nia. Ia tidak ikut pindah ke Makassar karena harus bekerja di Bogor.

Hidup mandiri dijalani Ida selama puluhan tahun. Sejak anak-anak mereka masih kecil, Ida selalu memberi pengertian ayahnya punya pekerjaan "berbeda" dengan orang lain, jadi tidak bisa ketemu setiap hari.

Meski hidup terpisah, pasangan suami istri tetap bisa membesarkan anak-anaknya dengan baik. Kuncinya adalah selalu berkomunikasi. Guido hampir setiap hari menelepon anak dan istrinya, begitu pula pasangan Purnomo dan Yuli serta Ida dan Kirono.

"Kami mengobrol ngalor-ngidul. Ini untuk menjalin kedekatan. Kalau ada masalah tidak terpecahkan, baru saya berkonsultasi dengan dia," tutur Ida yang sangat percaya suaminya tidak akan berbuat macam-macam.

Di satu sisi merasa kesepian, di sisi lain melatih kemandirian. Begitulah jika satu keluarga hidup terpisah. Yang kadang berat dirasakan adalah menahan rasa kangen pada anak. Maka itu, anak cenderung dimanjakan sebagai kompensasi rasa bersalah yang dirasakan. Guido selalu menuruti apa pun permintaan Jalu, begitu pula Purnomo yang berusaha semampunya memberi hiburan apa pun yang diinginkan Hirzy dan Thoriq.

Hidup jauh dari keluarga memang butuh banyak pengorbanan. Apalagi jika keluarga besar suami atau istri tidak berada di satu kota, seperti orangtua Yuli yang tinggal di Kuningan, Jawa Barat, dan orangtua Purnomo di Magelang, Jawa Tengah. Mertua Nia tinggal di Bekasi, tidak terlalu jauh dari Bogor, tetapi tentu tidak bisa terus menemaninya. Orangtua dan saudara Nia pun tinggal di kota-kota lain, tidak bisa terus mendampingi jika Nia membutuhkan bantuan.

Setidaknya, ada hal positif yang bisa dipetik para pasangan yang hidup terpisah, salah satunya adalah pembelajaran untuk kemandirian dan kematangan jiwa.


Saya ambil dari Kompas Edisi Minggu 29 Juli 2007. Untuk renungan bagi diri saya, bahwa hidup ini bukan sesuatu yang tanpa makna. Setiap peristiwa, terpisah jarak, tentu ada maksudnya. Semoga jarak yang membentang semakin nyata terbuang.

1 komentar:

muTiaramu mengatakan...

tia: sejauh apapun jarak kita terbentang,cinta qta tetap satu.